Jumat, 30 Maret 2018

Miladiyah 6 Tahun, Risma Ar - Rahman Adakan Perlombaan

Dokumentasi Maulid Rasulullah SAW Tahun 2017 di Masjid Taqwa Desa Sumber Makmur

Risma Ar - Rahman -  Jumat, 23 Maret 2018 seluruh anggota mengadakan rapat antar perangkat di Mushalah Nurul Hidayah untuk membahas kegiatan ulang tahun Risma Ar - Rahman yang ke-enam tahunnya. Rapat tersebut berhasil mendapatkan satu mufakat untuk membuat acara perlombaan Adzan, Juz 'Amma dan Cerdas Cermat (Quis).

Risma Ar - Rahman berdiri pada tanggal 1 Februari 2012 yang pada masa waktu itu dipimpin oleh Bayu Syahputra dan Anto. Seiring tahun 2018 sekarang ini, Risma Ar - Rahman sudah genap enam tahun.

Perlombaan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 22 April 2018 mendatang pukul 10.00 WIB s/d selesai. Kegiatan tersebut hanya menyangkut Desa Sumber Makmur Dusun IV dan V. Untuk mewujudkan acaranya, kami sebarkan surat edaran ke setiap tempat pengajian di Dusun IV dan V.

Partisipan sementara saat ini sudah mencakup sekitar 30 orang dan mudah-mudahan bertambah sampai ditutupnya pendaftaran tanggal 15 April nanti. Kami berharap dengan adanya perlombaan ini, anak-anak generasi yang akan datang menjadi semangat untuk mengejar prestasi khususnya untuk memajukan agama Islam.

Untuk acara tersebut hanya berlangsung selama satu hari saja dan telah dibagi lokasinya seperti:

Cerdas Cermat
Waktu: Minggu, 22 April 2018
Lokasi: MDTA Nurul Hidayah Ruang 1 Dusun IV Desa Sumber Makmur
Pukul: 10.00 WIB
Juz 'Amma Kategori Pertama (Kelas 4 SD s/d Kelas 1 SMP)
Waktu: Minggu, 22 April 2018
Lokasi: MDTA Nurul Hidayah Ruang 2 Dusun IV Desa Sumber Makmur
Pukul: 10.00 WIB
Juz 'Amma Kategori Kedua (Semua umur maksimal Kelas 3 SD)
Waktu: Minggu, 22 April 2018
Lokasi: Mushalah Nurul Hidayah Dusun IV Desa Sumber Makmur
Pukul: 13.30 WIB
Adzan (Semua umur maksimal Kelas 1 SMP)
Waktu: Minggu, 22 April 2018
Lokasi: MDTA Nurul Hidayah Ruang 1 Dusun IV Desa Sumber Makmur
Pukul: 13.30 WIB
Mudah- mudahan di ulang tahun yang ke-enam tahun ini, Risma Ar - Rahman bisa memberikan yang terbaik lagi untuk masyarakat Desa Sumber Makmur serta para anggotanya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Sabtu, 18 Februari 2017

Macam - Macam Hadits

 

Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.
 
1.        Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal  sampai akhir dan oleh orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:
a.       Sanadnya bersambung;
b.      Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga  
      kehormatan dirinya (muruah);
c.       Dhobit, yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan
d.      Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau dengan ayat al-Qur`an.
Hadits shohih dibagi dua:
a.       Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). `` (HR. Bukhori dan Muslim)
b.      Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.
 
2.        Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
a.        Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada yang sampai ke tingkat lighoirihi; 
dan
b.       Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi 
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)
 
Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1) Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.:
 
 3.    Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Contohnya, ``Barangsiapa berkata kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka luajib baginya surga``. (HR. Ibnu A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin Harun. Menurut Imam Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban memvonisnya sebagai pemalsu hadits.
 Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
a.    hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi`in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.
b.    Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir;
c.  Hadits al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;
d.  Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang bersangkutan;
e.    Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.
 Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:
1.        hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman periwayatnya kurang;
2.        hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad, nama periwayat, maupun matannya;
3.        hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.`` (HR. Anas dengan sanad yang lemah)
4.        hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun menyalahi riwayat orang banyak yang 
shiqoh juga;
5.        hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan riwayatnya berbeda dengan riwayat yang
shiqoh;
6.      hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh suka  berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.

Sumber:
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/hadist/909/macam-macam-hadits.html

10 Rahasia Kandungan Surat Al Fatihah


MERASAKAN
kelembutan dan kehalusan bahasa Al-Qur’an menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang beriman ketika membacanya. Sebab selain makna dan kandungannya yang berlaku sepanjang masa hingga Hari Kiamat, Al-Qur’an juga memiliki daya i’jaz (the power of mukjizat) pada setiap pemilihan kalimat, kata, serta dalam deretan huruf-huruf Al-Qur’an sekalipun.

Sensani lathaif at-tafsir lughawiyah (kehalusan tafsir) tersebut dilukiskan secara detail oleh Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni ketika menerangkan kelembutan ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah.
Hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam kitab Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an (Cetakan Dar ash-Shabuni, Kairo: 2007, cetakan pertama). Berikut penjelasannya:

Kesatu: Allah Ta’ala memerintahkan ta’awudz (membaca a’udzu billahi min asy-syaithani ar-rajim) sebelum membaca al-Qur’an.
Menurut Ja’far ash-Shadiq, perintah ta’awudz tersebut hanya dikhususkan ketika membaca al-Qur’an, sedang hal itu tak diwajibkan untuk ibadah dan amal kebaikan lainnya.
Hikmahnya antara lain, sebab terkadang lisan seorang hamba bergelimang dosa dengan dusta, ghibah, atau mengadu domba. Olehnya, Allah menyuruh orang itu ber-ta’awudz agar lisannya menjadi bersih kembali sebelum membaca ayat yang turun dari Zat Yang Mahasuci lagi Bersih.

Kedua: Adanya ayat basmalah di ayat pertama. Yaitu lafadz bismillahirrahirrahmanirrahim. Ayat basmalah yang mengawali surah al-Fatihah memberi indikasi yang terang agar seluruh amal perbuatan seorang Muslim juga wajib didahului dengan bacaan basmalah. Hal ini selaras dengan hadits Nabi.
“Setiap urusan kehidupan yang tidak diawali dengan ucapan bimillahirrahmanirrahim maka dia akan terputus.” (Riwayat Abu Daud).

Ketiga: Pengucapan lafadz “bismillah” (dengan nama Allah) dan tidak mengatakan “billahi” (dengan (zat) Allah). Meski ada yang menganggap penyebutan keduanya bermakna sama., namun yang benar adalah masing-masing memiliki arti yang beda. Bahwa lafadz “bismillah” dipakai untuk mengharap berkah dari Allah (tabarruk) sedang “billahi” digunakan ketika seseorang bersumpah atas nama Allah (qasam).

Keempat: Penamaan yang berbeda antara lafadz “Allah” dan “al-Ilah”. Nama “Allah” khusus dipakai untuk nama agung Allah Tuhan semesta alam. Tak ada sekutu bagi-Nya dan tak ada sesembahan selain diri-Nya (la ma’buda bi haqqin illa ilaihi). Sedang nama “al-Ilah” digunakan untuk menyebut Tuhan secara umum. Berhala yang disembah oleh orang musyrik, misalnya, juga dinamai dengan sebutan “al-Ilah”.

Kelima : Kandungan makna ayat “bismillahirrahirrahmanirrahim”. Di antaranya adalah memohon berkah dengan nama Allah dan pernyataan ketinggian Zat Allah. Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai penangkal jitu untuk seluruh makar jahat setan kepada manusia. Sebab setan akan kabur acap lafadz basmalah ini dibaca. Lebih jauh, menurut Ali ash-Shabuni, ayat ini mengandung makna penegasan kepada orang-orang musyrik yang selama ini mengagungkan nama-nama selain Allah dalam setiap urusan mereka.

Keenam: Adanya huruf alif lam (al-makrifah) pada kata “al-hamdu”. Suatu pujian yang sempurna kepada Allah. Oleh Ali ash-Shabuni, pujian tersebut dengan sendirinya meredupkan bahkan melenyapkan seluruh yang lain di luar Sang Khaliq (istighraq al-jinsi). Huruf alif lam (al-makrifah) tersebut juga mengisyaratkan sanjungan kepada Allah  yang bersifat kontinuitas, bukan suatu pujian yang dibuat-buat apalagi dipaksakan.

Ketujuh: Penyebutan “ar-Rahman ar-Rahim” yang datang setelah lafadz “Rabb al-Alamin”. Sebab boleh dikata nama “Tuhan semesta alam” menyiratkan makna kesombongan, kekuasaan, dan keperkasaan. Kesan seperti itu terkadang melahirkan kebimbangan bahwa Tuhan itu tidak menyayangi hamba-Nya. Ujungnya, sangkaan sepintas itu memunculkan putus asa dan ketakutan seorang hamba. Untuk itu, lafadz tersebut menguatkan bahwa Rabb yang dimaksud adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagi seluruh makhluk-Nya.

Kedelapan : Penyebutan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Penyebutan dhamir khithab (kata ganti kedua) menunjukkan dialog kedekatan hamba dengan Rabbnya. Allah tak memiliki jarak untuk mengabulkan doa dan memberi pertolongan kepada hamba-hamba-Nya. Abu Hayyan al-Andalusi, pengarang kitab Tafsir al-Bahru al-Muhith menambahkan, seolah-olah orang tersebut menghadirkan Allah secara nyata di hadapannya ketika sedang bermunajat kepada-Nya.

Kesembilan : Penggunaan kata jamak dalam lafadz “na’budu” (kami menyembah) dan “nasta’in” (kami memohon pertolongan). Sebuah pemilihan kata yang sangat halus kala seorang hamba datang mengetuk perkenan Allah, Zat Yang Maha Pencipta. Seolah ia berkata, wahai Tuhanku, aku tak lain adalah hamba-Mu yang papa lagi hina. Tak pantas bagiku menghadap seorang diri di hadapan cahaya kemuliaan-Mu. Untuk itu aku memilih berbaris bersama orang-orang yang juga memohon kepada-Mu dan ikut berdoa bersama mereka. Terimalah doaku dan doa kami semua.

Kesepuluh: Penyandaran kata nikmat kepada Allah dalam lafadz “an’amta” (yang Engkau beri nikmat). Sebaliknya, kata marah (ghadhab) dan sesat atau penyesatan (dhalal) tidak disandarkan kepada-Nya. Ini terlihat ketika Allah menyebut kata “an’amta alaihim” (yang Engka beri nikmat atas mereka) tapi tidak mengucap “ghadhabta alaihim”(yang Engkau marahi atas mereka) atau “adhlalta alaihim” (yang Engkau sesatkan atas mereka).*/Masykur Abu Jaulah

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Sumber:
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2015/05/18/69875/10-rahasia-kandungan-surat-al-fatihah.html

Jumat, 17 Februari 2017

Keistimewaan Sabar


Innallaha Maa’shabirin.. Sesungguhnya Allah (ada) bersama orang-orang yang sabar.

Mengapa Allah ada bersama mereka yang sabar?? Keistimewaan apa yang ada pada diri mereka.. Sebegitu hebatkah mereka yang sabar di mata Allah, sehingga Allah ada bersama mereka yang sabar..
Hanya sedikit bagian dari kaum muslimin yang masuk surga Nya Allah tanpa melewati hisab.. Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ada 70.000 umat yang akan masuk surga tanpa hisab..

Dan salah satu bagian dari orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab adalah orang-orang yang sabar.. Mengapa bisa?? Tidakkah mereka yang berjuang dalam agama Allah lebih besar peluang masuk surga tanpa hisab.. Kehebatan apa yang ada di dalam orang yang sabar..

Dalam salah satu ayatNya allah berfirman : “Wasta’inu bis shabri was sahalat”..  Minta tolonglah kamu kepadaKu (Allah) dengan sabar dan shalat.. Ada apa dengan sabar?? Kenapa dengan sabar dan shalat, bukan shalat dan sabar.. Begitu banyak ayat Allah lainnya tentang sabar..

Tingkatan sabar :
1. Sabar dalam menghadapi amarah
2. Sabar dalam menghadapi musibah
3. Sabar dalam menjauhi larangan Allah
4. Sabar dalam beribadah

Sudah sampai manakah tingkat kesabaran kita.. Sudahkah kita mampu mengatasi amarah, sabarkah kita terhadap musibah, mampukah kita dengan sabar dengan godaan larangannya, ataukah kita sanggup bersabar dalam beribadah kepadanya.. Ternyata sabar sulit kawan, bukan sekedar menahan amarah dan menerima cobaan.. Sabar lebih dari itu, maka layaklah orang-orang yang sabar masuk surga tanpa hisab.. Orang yang berperang dan mati syahid di jalannya juga melalui tahap sabar bukan.. Para Nabi dan sahabat juga melewati tahap sabar bukan.. Pantaslah Allah urutkan sabar dan shalat.. Karena shalat yang baik ternyata membutuhkan kesabaran..
Semoga kita bisa menjadi orang-orang yang sabar..
 
Wallahu alam bis shawaf.

Makna dibalik Kalimat Istirja'




1. Mengenal kalimat istirja’

Kalimat istirja’ berbunyi “inna lillahi wa inna illahi raji’un”. kalimat tersebut mempunyai arti “Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali”. Maksudnya bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah milik dan ciptaan Allah, maka kelak semuanya akan kembali kepada yang menciptakan dan yang memiliki yakni Allah swt.

Kalimat istirja bisa di ucapkan pda saat seseorang sedang tertimpah musibah atau cobaan. misalnya, pada saat salah seorang diantara kita meninggal dunia atau terkena bencana, seperti tsunami, tanah longsor, banjir, terpeleset, atau hal-hal lainya.

Sesungguhnya setiap musibah yang menimpah manusia disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Musibah tersebut ditimpahkan oleh Allah sebagai peringatan agar manusia itu kembali ke jalan yang benar. Bahkan jika semua kesalahan manusia dibalas langsung oleh Allah dengan musibah, bisa jadi seumur hidupnya manusia dicerca dengan berbagai musibah. Hanya saja banyak kesalahan manusia itu yang diampuni oleh Allah swt, sehingga musibah yang menimpah manusia tidak terlalu banyak.

Akan tetapi walaupun musibah yang menimpah manusia itu karena perbuatan manusia itu sendiri, keputusan akhir tetap ada di tangan Allah. Jika Allah mengijinkan musibah itu terjadi maka terjadilah, jika Allah tidak mengijinkan musibah itu tidak terjadi maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu , selayaknya manusia bersyukur kepada Allah agar mendapat petunjuk-Nya.

Bagai mana bentuk bersyukur kepada Allah saat tertimpah musibah? syukur saat ditimpah musibah itu menerima ketentuan Allah dengan penuh ikhlas dan kesabaran. Kembalikan semuanya kepada Allah karena segala hal  dan termasuk diri kita adalah milik-Nya.

Musibah yang kita terima tidak seberapa jika dibandingkan dengan nikmat yang kita peroleh dari-Nya. Kita wajib bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menikmati anugrah-Nya.

2. Hikmah Mempelajari Kalimat Istirja’
  1. Kita mengetahui segala sesuatu hanyalah milik Allah semata dan pasti akan kembali kepada-Nya.
  2. Kita akan lebih tabah dan sabar dalam menghadapi segala musibah maupun ujian dan cobaan dari Allah.
  3. Kita tidak akan merasa kehilangan jika suatu saat Allah mengambil milik-Nyayang telah dititipkan kepada kita.
  4. Segala sesuatu hendaknya disandarkan kepada Allah swt, sebab hanya dialah yang berhak atas semua itu.
  5. Sifat qana’ah 9pasrah terhadap segala yang digariskan Allah) akan menjadi milik jiwa kita jika kita memahami betul kalimat istirja’.
Referensi
  • M. Luthfi ubaidilah, dkk. 2008. Aqidah Akhlak. Jl, Revolusi: CV ARYADUTA 


Sumber:
https://rahmayantii.wordpress.com/2012/01/07/kalimat-istirja/

Rabu, 15 Februari 2017

Asal Usul Gelar Haji

Orang Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji.

Ada yang beralasan bahwa Ibadah Haji adalah Ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, maka jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.

Gelar atau sebutan haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji, pada awalnya tidak ada dan sebutan haji ini baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah saw. Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.

Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekalai, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak. Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.

Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.

Asal usul Gelar “Haji” di Indonesia Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Dikisahkan bahwa Pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.

Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).

Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.
Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan pada jaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.

Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji.bahkan untuk yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.

Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina jemaah haji. pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia. Dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”, kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam. Maka tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.

Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis.. itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar “haji”…. Jadi bertanya-tanya, pantaskah diberi gelar haji setelah mengetahui asal muasal gelar haji ini?

Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia,dinegara” lain tidak ada gelar haji untuk kaum muslimin yg telah melaksanakan ibadah haji tersebut, gelar haji ini pertama kali dibuat oleh bangsa belanda yg wkt itu sedang menjajah indonesia, orang yang telah berangkat haji ke me’kah dan kembali lagi ke indonesia oleh bangsa belanda di tandai di depan namanya dengan huruf  “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah.

Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan kebanyakan orang indonesia yg menjadi penentang belanda pada waktu itu yg berani mengajak masyarakat untuk melawan belanda adalah orang” yang baru pulang dari mekkah tersebut, oleh karena itu belanda menandai orang” tersebut dengan huruf  “H” di depan namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pembrontakan,

Tetapi mengapa di zaman sekarang seringkali gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan pembanding orang yg sudah mampu pergi haji dengan yang belum, bahkan ada beberapa orang yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah, harusnya orang yg sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan, ITULAH YANG LEBIH UTAMA daripada mempermasalahkan gelar.

sumber: http://kerinci.kemenag.go.id/2013/05/12/asal-usul-gelar-haji-di-indonesia-menurut-berbagai-versi/

Minggu, 30 Oktober 2016

Program KBPM Berjalan Dengan Lancar




Dokumentasi Kegiatan Bulanan Pembersihan Mushalah (KBPM) di Mushalah Nurul Hidayah pada Minggu, 30/10/2016.


SUMBER MAKMUR – Program Kegiatan Bulanan Pembersihan Mushalah (KBPM) atau yang dikerap disapa sebagai program Go Clean!, hari ini (Minggu, 30/10/2016) berjalan dengan sangat baik sesuai dengan prosedur yang telah direncanakan. Program dari Kakak Pembina (Sandi Wijaya) ini berjalan satu bulan sekali setiap hari Minggu guna sebagai pengabdian organisasi remaja kepada masyarakat sekitar atau juga sebagai kegiatan peduli lingkungan yang dikhususkan untuk setiap Mushalah di Desa Sumber Makmur.

Hari ini kegiatan berjalan di Mushalah Nurul Hidayah Dusun IV-B cukup mengundang antusias dari para remaja/i. Ada sekitar 13 anggota yang hadir dalam kegiatan ini, diantaranya 8 anggota ditugaskan membersihkan halaman mushalah yang dipenuhi dengan rumput, dan 5 orang remaji ditugaskan untuk membersihkan ruangan dalam Mushalah yang sudah terasa kotor untuk dipijak.

Kakak Pembina sendiri juga ikut melaksanakan kegiatan yang diadakannya ini, besar harapannya semoga kegiatan ini dapat berjalan dengan lebih baik lagi untuk kedepannya. Walaupun ada beberapa anggota yang tidak menghadiri kegiatan ini karena ketersibukan yang tidak bisa ditinggalkan, Kakak Pembina yakin bahwa kedepannya kegiatan ini akan disadari oleh seluruh anggota semuanya.

Sementara itu, Wakil Ketua (Sandi Prayuda) juga sangat setuju dengan adanya kegiatan ini, karena dengan adanya program ini Mushalah – Mushalah di Desa Sumber Makmur menjadi terurusi, dan tidak membebankan kepada orang – orang tua yang tenaganya tentu sudah berkurang dibanding para remaja/i untuk membersihkan mushalah. Hanya lagi tinggal para remaja/i yang harus merealisasikan apa yang telah disetujui akan program ini.

“Saya berharap kegiatan ini berjalan dengan lancar sesuai dengan yang direncanakan oleh Kakak Pembina, karena kita semua sudah menyetujui kegiatan ini. Itu artinya, kita harus menanggung jawabi apa yang telah kita setujui.” ujar Sandi Prayuda, Wakil Ketua Remaja.***